Implementasi
kebijakan Publik
Ada
beberapa tahapan dalam siklus kebijakan publik dan salah satu tahapan penting
dalam siklus kebijakan publik adalah implementasi kebijakan. Implementasi
sering dianggap hanya sebagai pelaksanaan dari apa yang telah diputuskan
oleh legislatif atau para pengambil keputusan, terkadang tahapan ini kurang
berpengaruh. Akan tetapi dalam kenyataannya, tahapan implementasi menjadi
begitu penting karena suatu kebijakan tidak akan berarti apa-apa jika tidak
dapat dilaksanakan dengan baik dan benar. Dengan kata lain implementasi
merupakan tahap dimana suatu kebijakan dilaksanakan secara maksimal dan dapat
mencapai tujuan kebijakan itu sendiri.
Terdapat
beberapa konsep mengenai implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh beberapa
ahli adalah sebagai berikut:
Van
Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno (2005:102) mendefinisikan implementasi
kebijakan publik sebagai: ”Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organisasi
publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
keputusan-keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha
untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam
kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usah-usaha untuk mencapai
perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan
kebijakan”.
Tahapan implementasi suatu kebijakan tidak akan dimulai
sebelum tujuan dan sasaran direncanakan terlebih dahulu yang dilakukan dalam
tahap formulasi kebijakan. Dengan demikian, tahap implementasi kebijakan
terjadi hanya setelah undang-undang tentang suatu kebijakan dikeluarkan dan
dana yang disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut telah
tersedia.
Implementasi
kebijakan merupakan tahap yang bersifat praktis dan berbeda dengan formulasi
kebijakan sebagai tahap yang bersifat teoritis. Anderson (1978:25) mengemukakan
bahwa: ”Policy implementation is the application by government`s administrative
machinery to the problems.Kemudian Edward III (1980:1) menjelaskan bahwa: “policy
implementation,… is the stage of policy making between establishment of a
policy…And the consequences of the policy for the people whom it affects”.
Berdasakan penjelasan di atas, Tachjan (2006i:25)
menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan publik merupakan proses kegiatan
adminsitratif yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan dan disetujui.
Kegiatan ini terletak di antara perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan.
Implementasi kebijakan mengandung logika top-down, maksudnya
menurunkan atau menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak atau makro
menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro.
Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting
dalam proses kebijakan. Artinya implementasi kebijakan menentukan keberhasilan
suatu proses kebijakan dimana tujuan serta dampak kebijakan dapat dihasilkan.
Pentingnya implementasi kebijakan ditegaskan oleh pendapat Udoji dalam Agustino
(2006:154) bahwa: “The execution of policies is as important if not more
important than policy making. Policy will remain dreams or blue prints jackets
unless they are implemented”.
Agustino (2006:155) menerangkan bahwa implementasi kebijakan
dikenal dua pendekatan yaitu: “Pendekatan top down yang serupa
dengan pendekatan command and control (Lester Stewart,
2000:108) dan pendekatan bottom up yang serupa dengan
pendekatan the market approach (Lester Stewart, 2000:108).
Pendekatan top down atau command and control dilakukan
secara tersentralisasi dimulai dari aktor di tingkat pusat dan
keputusan-keputusan diambil di tingkat pusat. Pendekatan top down bertolak
dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah
ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur atau
birokrat yang berada pada level bawah (street level bureaucrat)”.
Bertolak
belakang dengan pendekatan top down, pendekatan bottom
up lebih menyoroti implementasi kebijakan yang terformulasi dari
inisiasi warga masyarakat. Argumentasi yang diberikan adalah masalah dan
persoalan yang terjadi pada level daerah hanya dapat dimengerti secara baik
oleh warga setempat. Sehingga pada tahap implementasinya pun suatu kebijakan
selalu melibatkan masyarakat secara partisipastif.
Tachjan
(2006i:26) menjelaskan tentang unsur-unsur dari implementasi kebijakan yang
mutlak harus ada yaitu:
1.
Unsur pelaksana
Unsur
pelaksana adalah implementor kebijakan yang diterangkan Dimock & Dimock
dalam Tachjan (2006i:28) sebagai berikut: ”Pelaksana kebijakan merupakan
pihak-pihak yang menjalankan kebijakan yang terdiri dari penentuan tujuan dan
sasaran organisasional, analisis serta perumusan kebijakan dan strategi
organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program,
pengorganisasian, penggerakkan manusia, pelaksanaan operasional, pengawasan
serta penilaian”.
Pihak
yang terlibat penuh dalam implementasi kebijakan publik adalah birokrasi
seperti yang dijelaskan oleh Ripley dan Franklin dalam Tachjan (2006i:27): ”Bureaucracies
are dominant in the implementation of programs and policies and have varying
degrees of importance in other stages of the policy process. In policy and
program formulation and legitimation activities, bureaucratic units play a
large role, although they are not dominant”. Dengan begitu, unit-unit
birokrasi menempati posisi dominan dalam implementasi kebijakan yang berbeda
dengan tahap fomulasi dan penetapan kebijakan publik dimana birokrasi mempunyai
peranan besar namun tidak dominan.
2.
Adanya program yang dilaksanakan serta
Suatu
kebijakan publik tidak mempunyai arti penting tanpa tindakan-tindakan riil yang
dilakukan dengan program, kegiatan atau proyek. Hal ini dikemukakan oleh
Grindle dalam Tachjan (2006i:31) bahwa ”Implementation is that set of
activities directed toward putting out a program into effect”. Menurut
Terry dalam Tachjan (2006:31) program merupakan;
“A
program can be defined as a comprehensive plan that includes future use of
different resources in an integrated pattern and establish a sequence of
required actions and time schedules for each in order to achieve stated
objective. The make up of a program can include objectives, policies,
procedures, methods, standards and budgets”.
Maksudnya,
program merupakan rencana yang bersifat komprehensif yang sudah menggambarkan
sumber daya yang akan digunakan dan terpadu dalam satu kesatuan. Program
tersebut menggambarkan sasaran, kebijakan, prosedur, metode, standar dan
budjet. Pikiran yang serupa dikemukakan oleh Siagiaan, program harus memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
1. Sasaran yang dikehendaki ,
2. Jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan
tertentu,
3. Besarnya biaya yang diperlukan beserta sumbernya,
4. Jenis-jenis kegiatan yang dilaksanakan dan
5. Tenaga kerja yang dibutuhkan baik ditinjau dari segi jumlahnya
maupun dilihat dari sudut kualifikasi serta keahlian dan keterampilan yang
diperlukan (Siagiaan, 1985:85).
Selanjutnya,
Grindle (1980:11) menjelaskan bahwa isi program harus menggambarkan;
“kepentingan yang dipengaruhi (interest affected), jenis
manfaat (type of benefit), derajat perubahan yang diinginkan (extent
of change envisioned), status pembuat keputusan (site of
decision making),pelaksana program (program implementers) serta sumberdaya
yang tersedia (resources commited)”.
Program
dalam konteks implementasi kebijakan publik terdiri dari beberapa tahap yaitu:
- Merancang bangun (design)
program beserta perincian tugas dan perumusan tujuan yang jelas, penentuan
ukuran prestasi yang jelas serta biaya dan waktu.
- Melaksanakan (aplication)
program dengan mendayagunakan struktur-struktur dan personalia, dana serta
sumber-sumber lainnya, prosedur dan metode yang tepat.
- Membangun sistem penjadwalan,
monitoring dan sarana-sarana pengawasan yang tepat guna serta evaluasi
(hasil) pelaksanaan kebijakan (Tachjan, 2006i:35)
3.
Target
group atau kelompok sasaran.
Unsur
yang terakhir adalah target group atau kelompok sasaran, Tachjan
(2006i:35) mendefinisikan bahwa: ”target group yaitu sekelompok
orang atau organisasi dalam masyarakat yang akan menerima barang atau jasa yang
akan dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan”. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan berkaitan dengan kelompok sasaran dalam konteks implementasi
kebijakan bahwa karakteristik yang dimiliki oleh kelompok sasaran seperti:
besaran kelompok, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, usia serta
kondisi sosial ekonomi mempengaruhi terhadap efektivitas implementasi.
Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu implementasi
kebijakan publik perlu diketahui variabel atau faktor-faktor penentunya. Untuk
menggambarkan secara jelas variabel atau faktor-faktor yang berpengaruh penting
terhadap implementasi kebijakan publik serta guna penyederhanaan pemahaman,
maka akan digunakan model-model implementasi kebijakan. Edwards III (1980)
berpendapat dalam model implementasi kebijakannya bahwa keberhasilan
implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 faktor sebagai berikut:
1.
Bureaucraitic
structure (struktur birokrasi)
Struktur
organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.
Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan struktur
birokrasi itu sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme, dalam implementasi
kebijakan biasanya sudah dibuat standart operation procedur (SOP). SOP menjadi
pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak agar dalam pelaksanaan
kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan. Aspek kedua adalah
struktur birokrasi, struktur birokrasi yang terlalu panjang dan terfragmentasi
akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi yang
rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas organisasi
menjadi tidak fleksibel.
2.
Resouces (sumber daya)
Sumber
daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan. Edward III dalam
Widodo (2011:98) mengemukakan bahwa: bagaimanapun jelas dan konsistensinya
ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian
ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan
yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai
sumber-sumber daya untuk melaksanakan kebijakan secara efektif maka
implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif. Sumber daya di sini
berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan untuk mendukung
keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini mencakup sumber daya
manusia, anggaran, fasilitas, informasi dan kewenangan yang dijelaskan sebagai
berikut :
1) Sumber Daya Manusia (Staff)
Implementasi kebijakan tidak akan
berhasil tanpa adanya dukungan dari sumber daya manusia yang cukup kualitas dan kuantitasnya. Kualitas sumber
daya manusia berkaitan dengan keterampilan, dedikas, profesionalitas, dan
kompetensi di bidangnya, sedangkan kuatitas berkaitan dengan jumlah sumber daya
manusia apakah sudah cukup untuk melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber
daya manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi, sebab tanpa
sumber daya manusia yang kehandalan sumber daya manusia, implementasi kebijakan
akan berjalan lambat
2) Anggaran (Budgetary)
Dalam
implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan modal atau
investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin terlaksananya
kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadahi, kebijakan tidak akan
berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran.
3) Fasilitas (facility)
fasilitas atau sarana dan prasarana
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan.
Pengadaan fasilitas yang layak, seperti gedung, tanah dan peralatan perkantoran
akan menunjang dalam keberhasilan implementasi suatu program atau kebijakan.
4) Informasi dan
Kewenangan (Information and Authority)
Informasi
juga menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan, terutama informasi
yang relevan dan cukup terkait bagaimana mengimplementasikan suatu kebijakan.
Sementara wewenang berperan penting terutama untuk meyakinkan dan menjamin
bahwa kebijakan yang dilaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki.
3.
Disposisition (sikap pelaksana)
Kecenderungan
perilaku atau karakteristik dari pelaksana kebijakan berperan penting untuk
mewujudkan implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran.
Karakter penting yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan misalnya
kejujuran dan komitmen yang tinggi. Kejujuran mengarahkan implementor untuk
tetap berada dalam asa program yang telah digariskan, sedangkan komitmen yang
tinggi dari pelaksana kebijakn akan membuat mereka selalu antusias dalam
melaksanakan tugas, wewenang, fungsi, dan tanggung jawab sesuai dengan
peraturan yang telah ditetapkan
Sikap
dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh dalam implementasi kebijakan.
Apabila implementator memiliki sikap yang baik maka dia akan dapat menjalankan
kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan,
sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung maka implementasi tidak akan terlaksana
dengan baik.
4.
Communication (komunikasi)
Komunikasi
merupakan proses penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan.
Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian
informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy makers) kepada pelaksana
kebijakan (policy implementors) (Widodo, 2011:97).
Widodo
kemudian menambahkan bahwa informasi perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan
agar pelaku kebijakan dapat memahami apa yang menjadi isi, tujuan, arah,
kelompok sasaran (target group) kebijakan, sehingga pelaku kebijakan dapat
mempersiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan,
agar proses implementasi kebijakan bisa berjalan dengan efektif serta
sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri.
Komunikasi
dalam implementasi kebijakan mencakup beberapa dimensi penting yaitu
tranformasi informasi (transimisi), kejelasan informasi (clarity)
dan konsistensi informasi (consistency). Dimensi tranformasi menghendaki
agar informasi tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan tetapi juga
kepada kelompok sasaran dan pihak yang terkait. Dimensi kejelasan menghendaki
agar informasi yang jelas dan mudah dipahami, selain itu untuk menghindari
kesalahan interpretasi dari pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak
yang terkait dalam implementasi kebijakan. Sedangkan dimensi konsistensi
menghendaki agar informasi yang disampaikan harus konsisten sehingga tidak
menimbulkan kebingungan pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak
terkait.
Sumber :
26 Maret 2017 pukul 10.42
Ijin Kopi Materi