twitter


~ Cahaya BULAN - GIE (Nicholas Saputra) ~

Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa..
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui..
Apakah kau masih selembut dahulu..
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap..
Sambil membenarkan letak leher kemejaku..
Kabut tipis pun turun pelan pelan di Lembah Kasih..

Lembah Mandalawangi..


Kau dan aku tegak berdiri..

Melihat hutan-hutan yang menjadi suram..
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin..
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu..

Ketika kudekap..

Kau dekaplah lebih mesra..
Lebih dekat..
Apakah kau masih akan berkata..
Kudengar detak jantungmu..
Kita begitu berbeda dalam semua..

Kecuali dalam cinta..



Cahaya bulan menusukku..

Dengan ribuan pertanyaan..
Yang takkan pernah kutahu dimana jawaban itu..
Bagaikan letusan berapi..
Membangunkanku dari mimpi..
Sudah waktunya berdiri..
Mencari jawaban kegelisahan hati..




Implementasi kebijakan Publik

Ada beberapa tahapan dalam siklus kebijakan publik dan salah satu tahapan penting dalam siklus kebijakan publik adalah implementasi kebijakan. Implementasi sering dianggap hanya sebagai  pelaksanaan dari apa yang telah diputuskan oleh legislatif atau para pengambil keputusan, terkadang tahapan ini kurang berpengaruh. Akan tetapi dalam kenyataannya, tahapan implementasi menjadi begitu penting karena suatu kebijakan tidak akan berarti apa-apa jika tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan benar. Dengan kata lain implementasi merupakan tahap dimana suatu kebijakan dilaksanakan secara maksimal dan dapat mencapai tujuan kebijakan itu sendiri.
Terdapat beberapa konsep mengenai implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah sebagai berikut:
Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno (2005:102) mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai: ”Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usah-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan”.
Tahapan implementasi suatu kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan sasaran direncanakan terlebih dahulu yang dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan. Dengan demikian, tahap implementasi kebijakan terjadi hanya setelah undang-undang tentang suatu kebijakan dikeluarkan dan dana yang disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut telah tersedia.
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang bersifat praktis dan berbeda dengan formulasi kebijakan sebagai tahap yang bersifat teoritis. Anderson (1978:25) mengemukakan bahwa: ”Policy implementation is the application by government`s administrative machinery to the problems.Kemudian Edward III (1980:1) menjelaskan bahwa: “policy implementation,… is the stage of policy making between establishment of a policy…And the consequences of the policy for the people whom it affects”.
Berdasakan penjelasan di atas, Tachjan (2006i:25) menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan publik merupakan proses kegiatan adminsitratif yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan dan disetujui. Kegiatan ini terletak di antara perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan mengandung logika top-down, maksudnya menurunkan atau menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak atau makro menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro.
Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses kebijakan. Artinya implementasi kebijakan menentukan keberhasilan suatu proses kebijakan dimana tujuan serta dampak kebijakan dapat dihasilkan. Pentingnya implementasi kebijakan ditegaskan oleh pendapat Udoji dalam Agustino (2006:154) bahwa: “The execution of policies is as important if not more important than policy making. Policy will remain dreams or blue prints jackets unless they are implemented”.
Agustino (2006:155) menerangkan bahwa implementasi kebijakan dikenal dua pendekatan yaitu: “Pendekatan top down yang serupa dengan pendekatan command and control (Lester Stewart, 2000:108) dan pendekatan bottom up yang serupa dengan pendekatan the market approach (Lester Stewart, 2000:108). Pendekatan top down atau command and control dilakukan secara tersentralisasi dimulai dari aktor di tingkat pusat dan keputusan-keputusan diambil di tingkat pusat. Pendekatan top down bertolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur atau birokrat yang berada pada level bawah (street level bureaucrat)”.
Bertolak belakang dengan pendekatan top down, pendekatan bottom up  lebih menyoroti implementasi kebijakan yang terformulasi dari inisiasi warga masyarakat. Argumentasi yang diberikan adalah masalah dan persoalan yang terjadi pada level daerah hanya dapat dimengerti secara baik oleh warga setempat. Sehingga pada tahap implementasinya pun suatu kebijakan selalu melibatkan masyarakat secara partisipastif.
Tachjan (2006i:26) menjelaskan tentang unsur-unsur dari implementasi kebijakan yang mutlak harus ada yaitu:
1.      Unsur pelaksana
Unsur pelaksana adalah implementor kebijakan yang diterangkan Dimock & Dimock dalam Tachjan (2006i:28) sebagai berikut: ”Pelaksana kebijakan merupakan pihak-pihak yang menjalankan kebijakan yang terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran organisasional, analisis serta perumusan kebijakan dan strategi organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, pengorganisasian, penggerakkan manusia, pelaksanaan operasional, pengawasan serta penilaian”.
Pihak yang terlibat penuh dalam implementasi kebijakan publik adalah birokrasi seperti yang dijelaskan oleh Ripley dan Franklin dalam Tachjan (2006i:27): ”Bureaucracies are dominant in the implementation of programs and policies and have varying degrees of importance in other stages of the policy process. In policy and program formulation and legitimation activities, bureaucratic units play a large role, although they are not dominant”. Dengan begitu, unit-unit birokrasi menempati posisi dominan dalam implementasi kebijakan yang berbeda dengan tahap fomulasi dan penetapan kebijakan publik dimana birokrasi mempunyai peranan besar namun tidak dominan.
2.      Adanya program yang dilaksanakan serta
Suatu kebijakan publik tidak mempunyai arti penting tanpa tindakan-tindakan riil yang dilakukan dengan program, kegiatan atau proyek. Hal ini dikemukakan oleh Grindle dalam Tachjan (2006i:31) bahwa ”Implementation is that set of activities directed toward putting out a program into effect”. Menurut Terry dalam Tachjan (2006:31) program merupakan;
A program can be defined as a comprehensive plan that includes future use of different resources in an integrated pattern and establish a sequence of required actions and time schedules for each in order to achieve stated objective. The make up of a program can include objectives, policies, procedures, methods, standards and budgets”.
Maksudnya, program merupakan rencana yang bersifat komprehensif yang sudah menggambarkan sumber daya yang akan digunakan dan terpadu dalam satu kesatuan. Program tersebut menggambarkan sasaran, kebijakan, prosedur, metode, standar dan budjet. Pikiran yang serupa dikemukakan oleh Siagiaan, program harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Sasaran yang dikehendaki ,
2.      Jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu,
3.      Besarnya biaya yang diperlukan beserta sumbernya,
4.      Jenis-jenis kegiatan yang dilaksanakan dan
5.      Tenaga kerja yang dibutuhkan baik ditinjau dari segi jumlahnya maupun dilihat dari sudut kualifikasi serta keahlian dan keterampilan yang diperlukan (Siagiaan, 1985:85).
Selanjutnya, Grindle (1980:11) menjelaskan bahwa isi program harus menggambarkan; “kepentingan yang dipengaruhi (interest affected),  jenis manfaat (type of benefit), derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned), status pembuat keputusan (site of decision making),pelaksana program (program implementers) serta sumberdaya yang tersedia (resources commited)”.
Program dalam konteks implementasi kebijakan publik terdiri dari beberapa tahap yaitu:
  1. Merancang bangun (design) program beserta perincian tugas dan perumusan tujuan yang jelas, penentuan ukuran prestasi yang jelas serta biaya dan waktu.
  2. Melaksanakan (aplication) program dengan mendayagunakan struktur-struktur dan personalia, dana serta sumber-sumber lainnya, prosedur dan metode yang tepat.
  3. Membangun sistem penjadwalan, monitoring dan sarana-sarana pengawasan yang tepat guna serta evaluasi (hasil) pelaksanaan kebijakan (Tachjan, 2006i:35)
3.      Target group atau kelompok sasaran.
Unsur yang terakhir adalah target group atau kelompok sasaran, Tachjan (2006i:35) mendefinisikan bahwa: ”target group yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam masyarakat yang akan menerima barang atau jasa yang akan dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan”. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan kelompok sasaran dalam konteks implementasi kebijakan bahwa karakteristik yang dimiliki oleh kelompok sasaran seperti: besaran kelompok, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, usia serta kondisi sosial ekonomi mempengaruhi terhadap efektivitas implementasi.
Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu implementasi kebijakan publik perlu diketahui variabel atau faktor-faktor penentunya. Untuk menggambarkan secara jelas variabel atau faktor-faktor yang berpengaruh penting terhadap implementasi kebijakan publik serta guna penyederhanaan pemahaman, maka akan digunakan model-model implementasi kebijakan. Edwards III (1980) berpendapat dalam model implementasi kebijakannya bahwa keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 faktor sebagai berikut:
1.      Bureaucraitic structure (struktur birokrasi)
Struktur organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan struktur birokrasi itu sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme, dalam implementasi kebijakan biasanya sudah dibuat standart operation procedur (SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan. Aspek kedua adalah struktur birokrasi, struktur birokrasi yang terlalu panjang dan terfragmentasi akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.

2.      Resouces (sumber daya)
Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan. Edward III dalam Widodo (2011:98) mengemukakan bahwa: bagaimanapun jelas dan konsistensinya ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif. Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini mencakup sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi dan kewenangan yang dijelaskan sebagai berikut :
1) Sumber Daya Manusia (Staff)
Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari sumber daya manusia yang cukup     kualitas dan kuantitasnya. Kualitas sumber daya manusia berkaitan dengan keterampilan, dedikas, profesionalitas, dan kompetensi di bidangnya, sedangkan kuatitas berkaitan dengan jumlah sumber daya manusia apakah sudah cukup untuk melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi, sebab tanpa sumber daya manusia yang kehandalan sumber daya manusia, implementasi kebijakan akan berjalan lambat
2) Anggaran (Budgetary)
Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan modal atau investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin terlaksananya kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadahi, kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran. 
3)  Fasilitas (facility)
fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak, seperti gedung, tanah dan peralatan perkantoran akan menunjang dalam keberhasilan implementasi suatu program atau kebijakan.
4)  Informasi dan Kewenangan (Information and Authority)
Informasi juga menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan, terutama informasi yang relevan dan cukup terkait bagaimana mengimplementasikan suatu kebijakan. Sementara wewenang berperan penting terutama untuk meyakinkan dan menjamin bahwa kebijakan yang dilaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki.
3.      Disposisition (sikap pelaksana)
Kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana kebijakan berperan penting untuk mewujudkan implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran. Karakter penting yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan misalnya kejujuran dan komitmen yang tinggi. Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam asa program yang telah digariskan, sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakn akan membuat mereka selalu antusias dalam melaksanakan tugas, wewenang, fungsi, dan tanggung jawab sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan
Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Apabila implementator memiliki sikap yang baik maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung maka implementasi tidak akan terlaksana dengan baik. 
4.      Communication (komunikasi)
Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy makers) kepada pelaksana kebijakan (policy implementors) (Widodo, 2011:97).
Widodo kemudian menambahkan bahwa informasi perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan agar pelaku kebijakan dapat memahami apa yang menjadi isi, tujuan, arah, kelompok sasaran (target group) kebijakan, sehingga pelaku kebijakan dapat mempersiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan, agar proses implementasi kebijakan bisa berjalan  dengan efektif serta sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri.
Komunikasi dalam implementasi kebijakan mencakup beberapa dimensi penting yaitu tranformasi informasi (transimisi), kejelasan informasi (clarity) dan konsistensi informasi (consistency). Dimensi tranformasi menghendaki agar informasi tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan tetapi juga kepada kelompok sasaran dan pihak yang terkait. Dimensi kejelasan menghendaki agar informasi yang jelas dan mudah dipahami, selain itu untuk menghindari kesalahan interpretasi dari pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak yang terkait dalam implementasi kebijakan. Sedangkan dimensi konsistensi menghendaki agar informasi yang disampaikan harus konsisten sehingga tidak menimbulkan kebingungan pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak terkait.













Sumber :



Proses Perumusan Masalah sampai menjadi sebuah kebijakan
ada empat tahap dalam perumusan kebijakan publik yaitu: perumusan masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan untuk memcahkan masalah, dan tahap penetapan kebijakan. Kebijakan ERP ini merupakan salah satu kebijakan publik yang juga mengalami empat tahap tersebut. Agar lebih jelas, maka berikut akan dijelaskan mengenai empat tahap tersebut dalam Kebijakan
i.      Tahap pertama: tahap perumusan masalah
Masalah publik yang terjadi di Jakarta, yaitu kemacetan. Kemacetan disebabkan oleh  meningkatnya penghasilan masyarakat menyebabkan daya beli masyarakat bertambah, terutama daya beli kendaraan yang semakin meningkat. Dengan demikian masyarakat mampu membeli kendaraan pribadi yang memudahkan untuk melakukan aktifitas sehari-hari. Dalam melakukan kegiatannya masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi daripada kendaraan umum karena lebih cepat, murah, dan lebih aman dari tindak kejahatan di kendaraan umum (angkot). Paradigma tersebutlah yang berkembang d masyarakat Jakarta saat ini. Dengan paradigma seperti itulah yang dapat menyebabkan kemacetan karena ruas jalan yang semakin kecil, sedangkan jumlah kendaraan yang tiap tahun semakin meningkat, sehingga laju kendaraan akan menjadi lambat. Lambatnya laju kendaraan inilah yang menyebabkan kemacetan. Hal ini yang menyebabkan kemacetan di ibukota DKI Jakarta tidak dapat dihindari. Hampir setiap hari ibukota Indonesia ini mengalami kemacetan yang parah. Masalah seperti kemacetan ini merupakan masalah publik karena mengakibatkan kerugian bagi orang banyak dan harus segera diselesaikan. Jadi ketika keadaan seperti ini masyarakat membutuhkan sistem transportasi yang baik di Jakarta. Jika pemerintah ingin menambah panjang jalan untuk menampung jumlah kendaraan. Sehingga dalam perumusan masalahnya “Bagaiman pemerintah ingin membuat suatu cara agar kemacetan di Jakarta dapat dikurangi secara signifikan?”. Cara ini merupakan suatu hal yang belum pernah diterapkan sebelumnya dan juga harus bisa mengakomodir kebutuhan masyarakat akan kenyamanan dan keamanan saat bepergian.
ii.    Tahap kedua: agenda kebijakan
Agenda kebijakan didefinisikan sebagai tuntutan-tuntutan agar para pembuat kebijakan memilih atau merasa terdorong untuk melakukan tindakan tertentu (Budi Winarno, 2008:80). Masalah publik masyarakat Jakarta mengenai kemacetan merupakan masalah publik yang sudah pasti masuk ke dalam agenda kebijakan karena tingkat ‘penting’nya masalah ini tergolong tinggi. Akan tetapi dalam penanganan masalah kemacetan di Jakarta pemerintah dinilai sangat lambat, padahal semakin hari jumlah kendaraan pribadi semakin meningkat menuntut gubernur harus bertindak cepat dalam membuat suatu kebijakan untuk mengatasi kemacetan tersebut. Gubernur DKI Jakarta dalam hal ini dianggap lambat oleh public dalam membuat kebijakan untuk mengatasi macet dan pemenuhan kebutuhan public akan tranportasi yang murah, aman, dan nyaman bagi masyarakat Jakarta. Bahkan seringkali dalam membuat kebijaksanaan diwarnai oleh banyak kepentingan politik dan sebuah pencitraan saja di depan public yang membuat suatu kebijakan itu lambat terlaksana atau bahkan terhambat. Inilah yang membuat suatu kebijakan lambat untuk di implementasikan. Seharusnya Pemerintah harus memperhatikan kepentingan rakyat bukan kepentingan steakholder agar suatu kebijakan yang sudah dirumuskan dapat segera dilegalkan. Hal tersebut membutuhkan keberanian dari seorang pemimpin untuk melawan birokrasi yang banyak akan kepentingan dan gubernur juga harus menyadari bahwa mereka adalah pelayan masyarakat. Terlebih sudah mengalami pergeseran paradigma dari NPM ke NPS. Bahwa dalam membuat suatu kebijakan jangan melihat untung/ rugi, tetapi bagaimana seorang pemimpin memberikan pelayanan bagi public yang berkualitas. Dengan begitu Kemacetan di Jakarta yang telah dirasakan warganya sudah cukup lama dan menyebabkan kerugian bagi masyarakatnya baik waktu maupun secara financial, sehingga perlu adanya penanganan yang serius dari pemerintah DKI Jakarta.
iii.   Tahap ketiga: pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah
Adapun alternatif yang muncul dalam masalah ini adalah Pembangunan sistem angkutan monorel, busway,dan MRT. Setelah melalui penilitian maka dipilih transportasi busway yang tidak mengeluarkan biaya yang terlalu besar. Busway ini untuk memperbaharui angkutan bus yang dirasa kurang nyaman. Dengan hadirnya busway ini diharapkan masyarakat Jakarta mau meninggalkan kendaraannya sehingga kemacetan bisa dikurangi. Karena busway mendapat perlakuan ‘khusus’ sehingga lebih cepat dan kenyamanan masyarakat menjadi prioritas utama.
iv.    Tahap keempat: tahap penetapan kebijakan
disetujui oleh Gubernur DKI Jakarta untuk dilegalkan sebagai kebijakan melalui Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusu Ibukota Jakarta Nomor 110 tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Trans Jakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta



Aktor-aktor Pembuat Kebijakan
Aktor-aktor yang terlibat dalam sebuah kebijakan sangatlah berpengaruh dalam proses perumusan kebijakan publik. Aktor-aktor disini tidak hanya sebagai pembuat kebijakan agar dapat disahkan secara legal saja, namun juga pihak-pihak yang berpengaruh ketika perencanaannya, seperti :
1.       Inisiator kebijakan : Gubernur DKI Jakarta yaitu Fauzi Bowo.
2.       Pembuat kebijakan dan legislator : DPRD  dan Gubernur DKI Jakarta
3.       Pelaksana Kebijakan: Dalam pelaksanaannya, kebijakan ini bekerjasama dengan pihak swasta yaitu perusahaan-perusahaan jasa yang mengelola transportasi busway ini sehingga dapat beroperasi setiap hari.
4.       Kelompok sasaran adalah masyarakat karena kebijakan ini dibuat untuk mengatasi kemacetan yang terjadi di Jakarta.
5.       Kelompok yang diuntungkan (Beneficiaries Group). Adapun pihak yang diuntungkan adalah masyarakat sebagai sasaran utama dari kebijakan ini. Selain itu, ada pihak yang juga diuntungkan yaitu perusahaan yang bekerjasama dengan Pemprov Jakarta dalam pengoperasian busway ini.
6.       Kelompok Kepentingan: Masyarakat, Karena masyarkat yang mengalami dampak kemacetan ini Sehingga kebijakan ini dibuat dengan sasaran untuk mengurangi kemacetan demi kepentingan masyarakat.
7.      Kelompok Penekan: Media massa, karena dengan pemberitaan dari media massa di publik, maka pemerintah akan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di dalam masyarakat saat ini.



BAB I
PENDAHULUAN


I. Latar Belakang
Zaman globalisasi merupakan suatu zaman yang tidak dapat terlepas dari masyarakat dunia. Dimana di zaman globalisasi ini, dituntut untuk mewujudkan sebuah pemerintahan yang baik ( Good Governance ) agar terciptanya sebuah transparansi, partisipasi dan akuntabilitas di dalam pemerintahan. Tidak terlepas juga Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia memiliki kewajiban untuk secara terus - menerus berpartisipasi dalam mewujudkan pemerintahan yang baik ( Good Governance ). World Bank dalam Mardiasmo ( 2004 : 18 ) mendefenisikan Good Governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang sejalan dengan prinsip demokrasi, penghindaran salah alokasi dana investasi, pencegahan korupsi baik secara politik dan administratif.  Kepemerintahan yang baik setidaknya ditandai dengan tiga elemen yaitu : transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Partisipasi maksudnya mengikutsertakan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Sedangkan akuntabilitas adalah pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.
Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik ( Good Governance ) maka pemerintah Indonesia melakukan langkah – langkah perbaikan dalam manajemen keuangan negara sebagai satu kunci keberhasilan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka Nation and State Bulding. Dimana semasa pemerintahan orde baru manajemen keuangan negara belum berjalan dengan baik dalam pengelolaannya, sebagai kunci keberhasilan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan sampai orde reformasi belum kelihatan dampak hasil dari manajemen keuangan negara dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan. Sebagaimana dikatakan oleh Sondang P Siagian ( 1995 ) bahwa manajemen keuangan pemerintah sudah tidak sesuai dengan tuntutan pembangunan. Sebagai contoh, sistem pelaporan keuangan, katanya "....sering hanya menunjukkan legalitas penggunaan biaya dan kurang menunjukkan efisiensi penggunaan biaya tersebut ". Sistem pelaporan keuangan yang memungkinkan terjadinya distorsi informasi demikian tentunya sangat buruk bagi proses pembuatan keputusan dan kebijakan pemerintah yang efektif di bidang manajemen aset dan kewajiban ( Liabilities ).
Dalam praktek manajemen keuangan negara yang masih berlangsung sekarang ini, ada kecenderungan dari oknum pejabat untuk menghabiskan sisa anggaran, baik anggaran rutin maupun anggaran pembangunan ( proyek ), yang dikelolanya. Pejabat tersebut termotivasi oleh insentif untuk menghabiskan sisa anggaran karena kalau sisa anggaran tersebut tidak dihabiskan maka jumlah anggaran yang disetujui Kementerian Keuangan untuk tahun berikutnya, baik yang diusulkan dalam Daftar Usulan Kegiatan  ( DUK ) maupun Daftar Usulan Proyek ( DUP ), akan lebih kecil dari jumlah anggaran tahun sebelumnya.
Akibatnya, oknum pejabat tersebut merekayasa kegiatan untuk menghabiskan sisa anggaran dan membuat laporan keuangan " yang seolah - olah benar " untuk menjustifikasi kegiatan tersebut. Dalam sistem manajemen keuangan demikian tidak ada insentif bagi pengelola anggaran untuk menghemat maupun mengelola anggaran tersebut secara efektif dan efisien. Lemahnya manajemen negara khususnya manajemen keuangan negara yang menstimulasi perbuatan koruptif demikian telah menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga pemerintah terutama pada lembaga pengawasan. Apabila dilihat dari praktik pengelolaan keuangan negara, tampak jelas pemerintah menggunakan " Cash Accounting System " ( Sistem Akutansi Tunai - SAT ). Penggunaan sistem ini dipertegas lagi dalam Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1994 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 217/KMK.03/1990.
Sistem Akutansi Tunai hanya mencatat pos  - pos penerimaan dan pengeluaran tunai. Dalam SK Menteri tersebut ditegaskan bahwa mulai 1 April 1990 berlaku sistem baru untuk semua pembayaran atas beban kepanjangan ( APBN ) yang disebut Sistem Pembayaran dengan Uang Yang Harus Dipertanggungjawabkan ( UYHD ). Dalam sistem UYHD tampak jelas pencatatan hanya dilakukan pada pembayaran tunai kegiatan jangka pendek, tidak memperhitungkan kewajiban jangka panjang. Seperti yang sudah lazim dalam praktik pembukuan dan akutansi pemerintah selama ini, Sistem Akutansi Tunai yang digunakan pemerintah tidak mencatat aset dan kewajiban terutang baik dalam bentuk akun yang terutang ( Account Payable ) maupun akun piutang ( Account Receivable ). Oleh karena itu, tidak jelas dan sulit dilacak berapa nilai semua aset dan kewajiban yang dimiliki pemerintah.
Akibatnya, sistem pelaporan keuangan yang dihasilkan cenderung memberikan informasi yang tidak lengkap dan menyesatkan. Keadaan demikian seringkali membuat keputusan dan kebijakan publik yang berkaitan dengan aset dan kewajiban negara, termasuk manajemen hutang salah dan tidak efektif ( Policy Defect ). Kelemahan lain dari manajemen keuangan negara selama ini adalah adanya nonbujeter, yaitu dana di luar APBN yang berasal dari pendapatan bukan pajak. Adanya pengalokasian dana yang bersifat nonbujeter yang penggunaannya tidak transparant dan lemah mekanisme akuntabilitas publiknya jelas bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang baik ( Good Governance ).
Berbeda dengan Sistem Akutansi Tunai, Sistem " Accrual Accounting " ( SAA ) bukan hanya mencatat nilai penerimaan dan pembayaran tunai tetapi juga mencatat semua nilai aset dan kewajiban jangka panjang. Oleh karena itu, dengan SAA semua aset dan kewajiban pemerintah akan terlihat dan terdeteksi. Melalui pencatatan account payable dan account receivable, SAA secara sistematis membukukan, dalam bentuk double entries, semua aset dan kewajiban pemerintah.
SAA mengutamakan pemenuhan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntablitas publik dalam manajemen keuangan dan sumber daya negara. Diharapkan dengan adanya niat baik yang dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan manajemen keuangan pemerintah yang baik agar menjamin tercapainya tujuan pembangunan secara khusus, dan tujuan berbangsa dan bernegara secara umum. Karenanya, langkah - langkah strategis dalam konteks penciptaan, pengembangan, dan penegakan sistem manajemen keuangan yang baik merupakan tuntutan sekaligus kebutuhan yang semakin tak terelakkan dalam dinamika pemerintahan dan pembangunan. Dan tuntutan, kebutuhan atau aspirasi yang harus diakomodasi di satu sisi, dan terbatasnya sumber daya keuangan negara. Dengan demikian, pencapaian efektivitas dan efisiensi keuangan negara semakin diperjuangkan dalam tercapainya keuangan negara yang efektivitas dan efisiensi.
Dalam upaya perwujudan manajemen keuangan negara yang baik, terdapat pula tuntutan yang semakin aksentuatif untuk mengakomodasi, menginkorporasi, bahkan mengedepankan nilai - nilai Good Governance. Beberapa nilai yang relevan dan urgent untuk diperjuangkan adalah antara lain transparansi, akuntabilitas, serta partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan keuangan dimaksud, disamping nilai - nilai efektivitas dan efisiensi tentu saja. Dalam konteks yang lebih visioner, manajemen keuangan negara tidak saja harus didasarkan pada prinsip - prinsip Good Governance, tetapi harus diarahkan untuk mewujudkan nilai - nilai dimaksud.
Dimana muncul juga Undang – Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan Undang – Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan keuangan negara yang sesuai dengan tuntutan perkembangan demokrasi, ekonomi dan teknologi modern. Dengan munculnya undang – undang ini diharapkan dapat menciptakan manajemen keuangan negara yang baik, sehingga akan terwujudnya efektivitas dan efisiensi keuangan negara sebagai langkah dalam menciptakan pemerintahan yang baik ( Good Governance ). Dan menciptakan manajemen keuangan negara sebagai kunci kesuksesan dari keberhasilan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan.

BAB II
PEMBAHASAN



2.1.  Pengertian Keuangan Negara
Berdasarkan Pasal 1 angka ( 1 ) UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara ) diatur bahwa, pengertian keuangan Negara adalah “ semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut ”. Pengertian keuangan Negara dalam pengaturan ini didasarkan pada empat sisi yaitu obyek, subyek, proses, dan tujuan, seperti dikutip sebagai berikut. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki Negara, dan / atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara / Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan Negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Pengertian keuangan Negara dalam pengaturan ini terlalu luas, yang hampir meliputi seluruh kegiatan terkait dengan pengelolaan kekayaan Negara. Keluasan pengertian ini justru dapat mengakibatkan kekeliruan dalam penerapan hukumnya. Tujuan pembuat undang - undang dalam hal ini adalah agar Negara dengan mudah dapat mencegah terjadinya kerugian atau penyimpangan uang Negara. Rumusan pengertian semacam ini merupakan rumusan yang menjaring apa saja yang dapat dijadikan uang Negara dan sekaligus menjaring siapa saja yang akan atau berniat merugikan Negara.
Pasal 2 UU Keuangan Negara bahkan menentukan lebih luas dan rinci tentang apa saja yang tercakup dalam keuangan negara seperti dikutip sebagai berikut :
  1. kekayaan Negara / kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak - hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara / perusahaan daerah.
  2. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.
  3. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

2.2. Pengelompokkan Keuangan Negara
Berdasarkan pengertian keuangan negara dengan pendekatan objek, terlihat bahwa hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang diperluas cakupannya, yaitu termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan demikian, bidang pengelolaan keuangan negara dapat dikelompokkan dalam :
  1. Subbidang pengelolaan fiskal.
  2. Subbidang pengelolaan moneter.
  3. Sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Pengelolaan keuangan negara subbidang pengelolaan fiskal meliputi kebijakan dan kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara ( APBN ) mulai dari penetapan arah dan kebijakan umum ( AKU ), penetapan strategi dan prioritas pengelolaan APBN, penyusunan anggaran oleh pemerintah, pengesahan anggaran oleh DPR, pelaksanaan anggaran, pengawasan anggaran, penyusunan perhitungan anggaran negara ( PAN ) sampai dengan pengesahan PAN menjadi Undang - Undang Pengelolaan Keuangan Negara. Subbidang pengelolaan moneter berkaitan dengan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan sektor perbankan dan lalu lintas moneter baik dalam maupun luar negeri.
Pengelolaan keuangan negara sub bidang kekayaan negara yang dipisahkan berkaitan dengan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan di sektor Badan Usaha Milik Negara / Daerah ( BUMN / BUMD ) yang orientasinya mencari keuntungan ( Profit Motive ). Berdasarkan uraian di atas, pengertian keuangan negara dapat dibedakan antara : pengertian keuangan negara dalam arti luas, dan pengertian keuangan negara dalam arti sempit.
Pengertian keuangan negara dalam arti luas pendekatannya adalah dari sisi objek yang cakupannya sangat luas, dimana keuangan negara mencakup kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Sedangkan pengertian keuangan negara dalam arti sempit hanya mencakup pengelolaan keuangan negara sub bidang pengelolaan fiskal saja. Pembahasan lebih lanjut dalam modul ini dibatasi hanya pada pengertian keuangan negara dalam arti sempit saja yaitu subbidang pengelolaan fiskal atau secara lebih spesifik pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara ( APBN ).

2.3. Asas - asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam rangka mendukung terwujudnya pemerintahan yang baik ( Good Governance ) dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Aturan pokok keuangan negara telah dijabarkan ke dalam asas – asas umum, yang meliputi : baik asas - asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas – asas baru sebagai pencerminan penerapan kaidah - kaidah yang baik ( Best Practices ) dalam pengelolaan keuangan negara. Penjelasan dari masing - masing asas tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Asas Tahunan
Memberikan persyaratan bahwa anggaran negara dibuat secara tahunan yang harus mendapat persetujuan dari badan legislatif ( DPR ).
  1. Asas Universalitas
Memberikan batasan bahwa tidak diperkenankan terjadinya percampuran antara penerimaan negara dengan pengeluaran negara.
  1. Asas Kesatuan
Mempertahankan hak budget dari dewan secara lengkap, berarti semua pengeluaran harus tercantum dalam anggaran. Oleh karena itu, anggaran merupakan anggaran bruto, dimana yang dibukukan dalam anggaran adalah jumlah brutonya.

  1. Asas Spesialitas
Mensyaratkan bahwa jenis pengeluaran dimuat dalam mata anggaran tertentu / tersendiri dan diselenggarakan secara konsisten baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kuantitatif artinya jumlah yang telah ditetapkan dalam mata anggaran tertentu merupakan batas tertinggi dan tidak boleh dilampaui. Secara kualitatif berarti penggunaan anggaran hanya dibenarkan untuk mata anggaran yang telah ditentukan.
  1. Asas Akuntabilitas
Berorientasi pada hasil mengandung makna bahwa setiap pengguna anggaran wajib menjawab dan menerangkan kinerja organisasi atas keberhasilan atau kegagalan suatu program yang menjadi tanggung jawabnya.
  1. Asas Profesionalitas
Mengharuskan pengelolaan keuangan negaraditangani oleh tenaga yang profesional.
  1. Asas Proporsionalitas
Pengalokasian anggaran dilaksanakan secara proporsional pada fungsi - fungsi kementerian / lembaga sesuai dengan tingkat prioritas dan tujuan yang ingin dicapai.
  1. Asas Keterbukaan
Dalam pengelolaan keuangan negara, mewajibkan adanya keterbukaan dalam pembahasan, penetapan, dan perhitungan anggaran serta atas hasil pengawasan oleh lembaga audit yang independen.
  1. Asas Pemeriksaan Keuangan
Oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri, memberi kewenangan lebih besar pada Badan Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara secara objektif dan independen.
Asas - asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip - prinsip pemerintahan daerah. Dengan dianutnya asas - asas umum tersebut di dalam Undang - Undang Tentang Keuangan Negara, pelaksanaan undang - undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.4. Ruang Lingkup Keuangan Negara
Menurut Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2003, ruang lingkup keuangan negara
meliputi :
  1. Pengelolaan moneter
Hal ini dilakukan melalui serangkaian kebijakan di bidang moneter. Kebijakan moneter adalah kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah agar ada keseimbangan yang dinamis antara jumlah uang yang beredar dengan barang dan jasa yang tersedia di masyarakat.
  1. Pengelolaan fiskal
Pengelolaan fiskal meliputi fungsi - fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabean, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan. Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dilakukan pemerintah berkaitan dengan penerimaan ( pendapatan ) dan pengeluaran ( belanja ) pemerintah.
  1. Pengelolaan Kekayaan negara
Khusus untuk proses pengadaan barang kekayaan negara, yang termasuk pengeluaran Negara telah diatur secara khusus dalam Keputusan Presiden 6 Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Instansi Pemerintah. Di samping itu terdapat pula kekayaan negara yang dipisahkan ( pengelolaannya diserahkan kepada perusahaan yang seluruh modalnya / sahamnya dimiliki oleh negara ). Perusahaan semacam ini biasa disebut Badan Usaha Milik Negara dan Lembaga - lembaga Keuangan Negara ( BUMN / BUMD ).

2.5. Pengertian Manajemen Keuangan Negara
Manajemen Keuangan menurut Bambang Riyanto adalah keseluruhan aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan usaha mendapatkan dana yang diperlukan dengan biaya yang minimal dan syarat-syarat yang paling menguntungkan beserta usaha untuk menggunakan dana tersebut seefisien mungkin. Sedangkan definisi lain terkait manajemen keuangan menurut para ahli, yaitu :
  1. Liefman : manajemen keuangan merupakan usaha untuk menyediakan uang dan menggunakan uang untuk mendapat atau memperoleh aktiva.
  2. Suad Husnan : manajemen keuangan ialah manajemen terhadap fungsi - fungsi keuangan.
  3. James Van Horne : Manajemen Keuangan adalah segala aktivitas yang berhubungan dengan perolehan, pendanaan dan pengelolaan aktiva dengan tujuan menyeluruh.
  4. J. L. Massie : Manajemen keuangan adalah kegiatan operasional bisnis yang bertanggung jawab untuk memperoleh dan menggunakan dana yang diperlukan untuk sebuah operasi yang efektif dan efisien.
  5. Howard & Upton : Manajemen keuangan adalah penerapan fungsi perencanaan & pengendalian fungsi keuangan.
  6. JF Bradley : Manajemen keuangan adalah bidang manajemen bisnis yang ditujukan untuk penggunaan model secara bijaksana & seleksi yang seksama dari sumber modal untuk memungkinkan unit pengeluaran untuk bergerak ke arah mencapai tujuannya.
2.6. Fungsi Manajemen Keuangan Negara
Berikut ini penjelasan singkat tentang fungsi - fungsi yang ada didalam manajemen keuangan :
  1. Perencanaan Keuangan, membuat rencana pemasukan dan pengeluaraan serta kegiatan - kegiatan lainnya untuk periode tertentu.
  2. Penganggaran Keuangan, tindak lanjut dari perencanaan keuangan dengan membuat detail pengeluaran dan pemasukan.
  3. Pengelolaan Keuangan, menggunakan dana perusahaan untuk memaksimalkan dana yang ada dengan berbagai cara.
  4. Pencarian Keuangan, mencari dan mengeksploitasi sumber dana yang ada untuk operasional kegiatan perusahaan.
  5. Penyimpanan Keuangan, mengumpulkan dana perusahaan serta menyimpan dan mengamankan dana tersebut.
  6. Pengendalian Keuangan, melakukan evaluasi serta perbaikan atas keuangan dan sistem keuangan pada perusahaan.
  7. Pemeriksaan Keuangan, melakukan audit internal atas keuangan perusahaan yang ada agar tidak terjadi penyimpangan.
  8. Pelaporan keuangan, penyediaan informasi tentang kondisi keuangan perusahaan sekaligus sebagai bahan evaluasi.

2.7. Paradigma Baru dalam Manajemen Keuangan Negara
Mulai tahun 2000 Pemerintah telah merubah struktur dan format APBN dari format T - account menjadi I - account. Format APBN yang lama menggunakan T - account yaitu seperti huruf T. Pada sisi kiri dicantumkan rincian penerimaan negara, baik penerimaan dalam negeri maupun penerimaan pembangunan (yang berasal dari pinjaman luar negeri). Pada sisi kanan dicantumkan pengeluaran negara, yang terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Dengan format ini jumlah penerimaan negara selalu sama besarnya dengan jumlah pengeluaran negara karena pinjaman luar negeri dimasukkan dalam pos penerimaan pembangunan. Format APBN yang baru disusun menurut I - account, yaitu seperti huruf I. Adapun yang menjadi tujuan dari perubahan tersebut antara lain adalah :
  1. Untuk meningkatkan transparansi dalam penyusunan APBN.
  2. Untuk mempermudah analisis, pemantauan, dan pengendalian dalam
pelaksanaan dan pengelolaan APBN.
  1. Untuk mempermudah analisis komparasi ( perbandingan ) dengan budget
negara lain.
  1. Mempermudah perhitungan dana perimbangan, baik dana bagi hasil
penerimaan maupun dana alokasi umum.
  1. Untuk mengembalikan komponen penerimaan migas dan penerimaan lainnya
selain pajak kepada pos penerimaan bukan pajak.
  1. Untuk menampung komponen peneriman berupa :
a.       Hasil divestasi saham Pemerintah pada BUMN ( privatiasi )
b.      Hasil penjualan kekayaan perbankan ( Asset Recover )
c.       Penjualan obligasi Pemerintah di dalam negeri.
  1. Pemerintah menyadari bahwa pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan sampai saat ini perlu diadakan penyempurnaan terutama dalam mengatasi kelemahan seperti kurangnya keterkaitan antara perencanaan nasional, penganggaran, dan pelaksanaannya, kemudian kelemahan dalam pelaksanaan pengganggaran yang menggunakan line - item budget ( penyusunan anggaran yang didasarkan kepada dan dari mana dana berasal / pos - pos penerimaan dan untuk apa dana tersebut digunakan / pos - pos pengeluaran ), aspek perubahan anggaran yang lebih bersifat perubahan pada sejumlah dana tertentu yang ditambahkan secara incremental atas anggaran sebelumnya, adanya pemisahan anggaran pembangunan dan anggaran rutin, serta klasifikasi anggaran yang belum terbagi berdasarkan fungsi.
Untuk itu dalam Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, terdapat berbagai perubahan mendasar dalam tiga hal yang meliputi :
1.       Pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah ( Medium Term Expenditure Framework)
KPJM merupakan pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan yang dilakukan dalam perspektif waktu lebih dari satu tahun anggaran dengan mempertimbangkan implikasi biaya pada tahun berikutnya yang dinyatakan sebagai prakiraan maju ( Forward Estimate ). Sedangkan prakiraan maju merupakan perhitungan kebutuhan dana untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun anggaran yang direncanakan guna memastikan kesinambungan program dan kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran berikutnya.
2.       Penerapan penganggaran secara terpadu ( Unified Budget )
 Pendekatan penganggaran terpadu merupakan pendekatan penganggaran yang mengintegrasikan seluruh proses perencanaan dan penganggaran ke dalam satu proses. Sebelumnya, penganggaran untuk belanja rutin dan pembangunan dilakukan secara terpisah dengan menggunakan dua dokumen yang terpisah pula yaitu DIP dan DIK. Melalui pendekatan anggaran terpadu, proses perencanaan dan penganggaran serta dokumen penganggarannya telah disatukan. Selain itu, klasifikasi belanja rutin dan pembangunan telah ditiadakan dan dilebur menjadi belanja pemerintah pusat.
3.       Penerapan penganggaran berdasarkan kinerja ( Performance Budget )
Anggaran Berbasis Kinerja ( Performance Based Budgeting ) adalah model pendekatan penganggaran yang memperhatikan keterkaitan antara pendanaan ( input ) dengan keluaran dalam bentuk output dan outcome yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Input ( masukan ) adalah besaran sumber - sumber daya dalam bentuk : dana, SDM, material / bahan, waktu dan teknologi yang digunakan untuk melaksanakan program atau kegiatan. Output ( keluaran ) menunjukkan produk ( berupa barang atau jasa) yang dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai dengan input yang digunakan. Sedangkan outcomes ( hasil ) menunjukkan berfungsinya output.
Pada tangal 14 Januari 2004, telah disahkan Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang merupakan ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut atas disahkannya Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2003. Menurut Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2004 tersebut, yang dimaksud dengan Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. Seiring dengan konsepsi di atas, pelaksanaan anggaran dilakukan melalui pembagian tugas antara Menteri Keuangan selaku pemegang kewenangan kebendaharaan dengan menteri negara / lembaga selaku pemegang kewenangan adminitratif.
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 dijelaskan bahwa kewenangan administratif yang dimiliki menteri negara / lembaga mencakup kewenangan untuk melakukan perikatan atau tindakan lain yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara, kewenangan melakukan pengujian dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada menteri negara / lembaga sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut, serta memerintahkan pembayaran atau menagih penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran. Sedangkan dalam upaya melaksanakan kewenangan kebendaharaan, Menteri Keuangan merupakan pengelola keuangan yang berfungsi sebagai kasir, pengawas keuangan, dan sekaligus sebagai manager keuangan.

2.8. Tiga Keputusan Yang Diambil Manajemen Keuangan

Ada tiga keputusan yaitu keputusan investasi, keputusan pendanaan, dan keputusan mengenai dividen. Kegiatan mencari alternatif sumber dana menimbulkan adanya arus kas masuk, sementara kegiatan mengalokasikan dana dan pembayaran dividen menimbulkan arus kas keluar, maka manajemen keuangan sering disebut manajemen aliran ( arus ) kas.  Keterangan lebih lanjut dari masing - masing keputusan sebagai berikut :
  1. Financing dicision : keputusan pendanaan atau pembelanjaan pasif.
·         Implementasi dari rasing of funds, meliputi besarnya dana, jangka waktu penggunaan, asalnya dana serta, persyaratan-persyaratan yang timbul karena penarikan dana tersebut.
·         Hasil financing dicision tercermin di sebelah kanan dari neraca.
·         Raising of funds bisa diperoleh dari internal ( modal sendiri ) meliputi : saham preferen, saham biasa, laba ditahan dan cadangan, maupun eksternal ( modal asing ) jangka pendek maupun jangka panjang. Sumber dana jangka pendek, misalnya utang dagang ( Trade Payable atau Open Account ), utang wesel ( Notes Payable ), utang gaji, utang pajak. Sumber dana jangka panjang misalnya, utang bank, dan obligasi.
  1. Investmenf Dicision : keputusan investasi atau pembelanjaan aktif.
  • Allocation of funds bisa dalam jangka pendek dalam bentuk working capital, berupa aktiva lancar atau jangka panjang dalam bentuk capital investment, berupa aktiva tetap.
  • Tercermin di sisi aktiva ( kiri ) sebuah neraca. Komposisi aktiva harus ditetapkan misalnya berapa aktiva total yang dialokasikan untuk kas atau persediaan, aktiva yang secara ekonomis tidak dapat dipertahankan harus dikurangi, dihilangkan atau diganti.
  1. Dividen Policy : keputusan mengenai dividen.
·         Berhubungan dengan penentuan prosentase dari keuntungan neto yang akan dibayarkan sebagai cash dividend.
·         Penentuan stock dividen dan pembelian kembali saham.

BAB III
PENUTUP

Manajemen keuangan negara yang efektif dan efisien akan menciptakan pembangunan dan penyelenggaraan negara yang baik di zaman globalisasi saat ini. Salah satu kuncinya dalam menciptakan menejemen keuangan negara yang efektif dan efisien dengan menerapkan nilai – nilai  pemerintahan yang baik ( Good Governance ) yang seutuhnya. Indonesia merupakan negara di dunia yang berusaha menerapkan  nilai – nilai  pemerintahan yang baik ( Good Governance ) khususnya dalam menciptakan manajemen keuangan negara yang efektif dan efisien untuk menciptakan pembangunan dan penyelenggaraan negara yang baik biarpun dalam praktek manajemen keuangan negara yang masih berlangsung sekarang ini, ada kecenderungan dari oknum pejabat untuk menghabiskan sisa anggaran, baik anggaran rutin maupun anggaran pembangunan ( proyek ), yang dikelolanya. Tetapi biarpun demikian pemerintah terus berusaha memperbaiki manajemen keuangan negara dengan menerapkan nilai – nilai Good Governance, seperti transparansi, akuntabilitas, serta partisipasi masyarakat dalam pengelolaan keuangannya sehingga diharapkan dapat menciptakan keuangan negara yang efektif dan efisien sebagai kunci pembangunan dan penyelenggaraan negara.












DAFTAR PUSTAKA

Suparmoko. 2000. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta : BPFG
Purwanto, Yadi. 2001. Manajemen Keuangan Pemerintah. Jakarta : PT. Cendekia Informatika
Ulum, Ihyaul. 2004. Akuntansi Sektor Publik.Yogyakarta : UMM PRESS
Van Fleet, James K. 1973. Manajemen Keuangan. Jakarta : Mitra Usaha
J. Fred Weston & Thomas E. Copeland. 1995. Manajemen Keuangan Edisi Revisi Jilid I. Jakarta : Bina rupa Aksara
Arifin P Soeria Atmadja. 1996.  Kapita Selekta Keuangan Negara. Jakarta : Untar
Bastian Indra. 2001.  Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Yogyakarta : BPFE UGM
Lembaga Administrasi Negara. 1997. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, Jilid II / Edisi Ketiga Hal 53. Jakarta : PT Toko Gunung Agung
Musgrave, Richard A. 1993. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. Jakarta : Erlangga